Mau kerja apa sih emang perempuan?
Sesekali saya ngejelajah ke X dan liatin orang marah-marah di dalem situ, dari pasangan selingkuh sampe isu-isu politik sekarang-sekarang ini. Tapi, beberapa keluh kesah yang sering saya liat tapi malah didebatin itu terkait segala sesuatu yang membahas isu perempuan.
Tidak sedikit kadang saya liat cuitan balasan orang yang meremehkan pengalaman dengan menyebutnya "Lebay" atau ekstrimnya seperti "Yaudah jadi istri nurut aja sama suami, engga usah dibawa ribet".
Saya orangnya simpel, kalau dalam rumah tangga bisa dapet pemasukan dari kedua belah pihak ya bagus, tambah banyak duit. Apalagi di ekonomi kaya jaman sekarang, cuman ngeliat respon orang di X bikin saya jadi mikir "Kenapa pengalaman banyak perempuan jadi topik perdebatan di media sosial, dan kenapa tuntutan manusiawi kaya gini masih aja ada yang tidak setuju?".
Jawaban paling mudah yang muncul pertama adalah tentunya karena X memiliiki pengguna tingkatan profesor doktor dunia maya semua. Tetapi saya mencoba melihat langsung berdasarkan data yang bisa diakses untuk mendapatkan gambaran kesulitan pekerjaan di Indonesia bagi perempuan.
Data Gender Inequality Index yang dirilis oleh United Nations Development Programme pada 2018 lalu menunjukkan Indonesia menempati posisi ke 116 dari 188 negara. Bukan sebuah prestasi yang bisa dibanggakan tapi tentunya kita sudah membaik kan sekarang?
Tidak. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengungkapkan kaum perempuan lebih sulit mengakses pekerjaan, berikut adalah beberapa alasan yang menjadi permasalahan yang umum spesifik pada perempuan
1. Gaji yang lebih rendah: Sri Mulyani mengungkapkan bahwa rata-rata perempuan menerima gaji 32% lebih rendah ketimbang laki-laki untuk jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama.
2. Budaya mengakar: Perempuan dianggap tidak perlu menghasilkan uang sebanyak laki-laki karena bukan tugas utama mereka mencari nafkah dalam keluarga.
3. Tuntutan "berpenampilan menarik": Hal ini sangat umum muncul disertai dengan batasan umur
Sebelum saya dibakar hidup-hidup mendengar teriakan dari penziarah kediaman saya, tentunya tidak semua perempuan ingin bekerja dan lebih memilih untuk mengikuti adat budaya menjadi ibu rumah tangga. Tapi apakah peran perempuan hanya sampai disitu saja?
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Ketika sebuah sistim (struktur) sosial dimana salah satu gender menjadi korban; laki-laki maupun perempuan menjadi korban, hal ini akan menjadi sebuah isu ketidakadilan gender. Beberapa bentuk ketidakadilan gender berupa :
a. Stereotip: yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki ramah dianggap perayu.
b. Subordinasi: yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
c. Marginalisasi/Peminggiran: Adalah kondisi atau proses peminggiran terhadap / salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki.
d. Beban Ganda: Adalah adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin
Argumen mudah yang bisa diberikan umumnya adalah dengan membalikkan situasi, "gimana kalau lo mau kerja tapi harus ganteng? Emangnya lo punya kontrol". Saya pribadi ketika di wawancara jika ditanya seperti itu masih bisa menjelaskan bahwa ibu saya mengganggap saya ganteng dan berdoa lolos. Tapi tentunya, ada perbedaan fundamental disini yang harus kita pertimbangkan, yaitu perbedaan kepribadian dan peran dari jender kita terhadap cara kita sebagai individu hidup dalam dunia ini
Saya tidak bisa bawa trisula dan mengancam budaya patriarki karena sejujurnya saya engga tau apakah terlahir sebagai lelaki adalah anugerah atau kutukan. Dengan menyatakan bahwa menjadi lelaki atau menjadi perempuan itu lebih menguntungkan, menunjukkan adanya kesenjangan sosial di dalam kehidupan bermasyarakat kita yang kita harus benahi dan bukan hanya perempuan saja atau laki-laki saja yang membenahi.
Kita tidak bisa menghapus sejarah atau menyalahkan kultur budaya, orang tua, ataupun kelahiran kita. Yang kita bisa lakukan hanyalah apa yang bisa kontrol, dan itu dengan menunjukkan ketidakadilan yang muncul dan bertemu di titik tengah, di mana kita bisa mengerti, memahami, memaafkan dan sembuh bersama.
Sumber :
Nurrachman, N. & Bachtiar, I. (2011), Psikologi Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia. Universitas Atma Jaya: Jakarta.

Comments
Post a Comment